Kajian Islam Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah

Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa sesama Muslim bisa saling memusuhi, saling mendanai kezaliman terhadap saudaranya sendiri, atau bahkan melakukan genosida seperti yang terjadi di Sudan? Fenomena ini menggemaskan sekaligus memilukan. Seakan-akan, jika umat ini bersatu, semua masalah selesai. Namun, realitanya perpecahan justru sering datang dari dalam tubuh umat Islam sendiri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan bahwa musuh terbesar umat Islam tidak selalu dari luar. Kadang-kadang, musuh itu justru berasal dari dalam, dari orang-orang yang mengaku Muslim namun pemahaman dan caranya menyimpang jauh dari ajaran Nabi yang penuh kasih. Dalam sejarah, kelompok semacam ini dikenal dengan nama Khawarij.

Akar Sejarah: Tragedi Pembunuhan Utsman bin Affan

Untuk memahami musuh dari dalam ini, kita perlu menyelami sejarah kelam di masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah sahabat mulia, menantu Rasulullah yang masuk Islam sejak dini dan mendampingi Nabi dalam suka dan duka.

Enam tahun pertama kepemimpinannya gemilang, wilayah Islam meluas. Namun, di enam tahun kedua, muncullah sekelompok pemuda dari Kufah, Basrah, dan Mesir. Dengan usia muda dan pemahaman agama yang dangkal, mereka mulai menebar fitnah dan tuduhan palsu terhadap Utsman:

  1. Dituduh korupsi, padahal beliau sangat kaya dan dermawan (seperti saat membeli sumur Raumah untuk kaum Muslimin).
  2. Dituduh menyimpang dari sunah Nabi, padahal merekalah yang tidak pernah bertemu Nabi, sementara Utsman adalah sahabat langsung.
  3. Dituduh nepotisme karena mengangkat keluarga Bani Umayyah dalam pemerintahan.
  4. Dituduh bid’ah karena kebijakannya yang kontekstual, seperti:
    • Adzan Jumat dua kali untuk mengatur jamaah yang semakin banyak.
    • Tidak mengqashar shalat di Mina agar Muslim baru yang berkumpul tidak mengira shalat Zhuhur, Ashar, dan Isya’ hanya dua rakaat.

Kelompok ini kemudian merencanakan kudeta. Mereka menyamar sebagai jamaah haji, mengepung rumah Khalifah Utsman di Madinah yang sedang sepi, dan menerornya selama 40 hari. Utsman yang telah diberi kabar gembira akan mati syahid oleh Rasulullah, melarang para sahabat melawannya untuk menghindari pertumpahan darah sesama Muslim.

Pada hari ke-40, mereka membunuh Utsman bin Affan dengan kejam. Bahkan, jenazahnya tidak diizinkan dimandikan dan dikuburkan selama berhari-hari. Istrinya, Nailah, yang berusaha melindunginya sampai terluka dan jarinya terpotong. Inilah benih pertama perpecahan besar yang dilakukan oleh Muslim terhadap pemimpin dan saudaranya sendiri.

Kelahiran dan Ciri-Ciri Khawarij

Pasca wafatnya Utsman, situasi semakin rumit. Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dihadapkan pada tuntutan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu (gubernur Syam dan kerabat Utsman) untuk segera mengadili pembunuh Utsman. Perbedaan prioritas ini memicu ketegangan.

Dalam Perang Shiffin antara pasukan Ali dan Muawiyah, ketika pasukan Ali hampir menang, Muawiyah (atas saran Amr bin Ash) mengangkat mushaf Al-Qur’an sebagai simbol tahkim (arbitrase). Sebagian pasukan Ali (yang notabene berasal dari kelompok pembuat onar sebelumnya) memaksa Ali menerima tahkim. Namun, ketika Ali akhirnya menerima, kelompok ini justru berbalik menyesali diri dan mengkafirkan Ali karena “menerima hukum manusia”.

Mereka pun keluar (kharaju) dari barisan Ali, sehingga disebut Khawarij (orang-orang yang keluar). Mereka mendirikan kelompok eksklusif dengan keyakinan:

  • Menganggap diri mereka paling benar.
  • Mengkafirkan Muslim lain yang berbeda pendapat, bahkan sahabat Nabi sekelas Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash.
  • Kejam terhadap sesama Muslim, namun bisa bersikap baik pada non-Muslim.
  • Mereka membunuh sahabat Abdullah bin Khabbab beserta istri yang sedang hamil dengan sadis, namun di saat yang sama sangat ketat hingga melarang makan satu buah dari pohon milik orang lain tanpa izin.

Mereka bahkan merencanakan pembunuhan massal terhadap tiga tokoh: Ali (di Kufah), Muawiyah (di Damaskus), dan Amr bin Ash (di Mesir). Ali bin Abi Thalib gugur syahid di tangan mereka. Inilah pola berbahaya: mengatasnamakan kebenaran mutlak untuk menghalalkan darah sesama Muslim.

Khawarij Modern: Ciri-Cirinya di Zaman Kita

Rasulullah telah menggambarkan ciri-ciri Khawarij dalam hadis-hadisnya. Pola ini masih terlihat jelas di zaman sekarang, meski kemasannya berbeda. Berikut ciri-cirinya:

  1. Merasa Paling Benar Sendiri (Self-Righteousness)
    Mereka yakin hanya golongan mereka yang berada di jalan lurus, sementara Muslim lain dianggap sesat, bid’ah, atau bahkan kafir. Seperti orang di zaman Nabi yang menuduh Nabi tidak adil dalam pembagian ghanimah.
  2. Muda, Vokal, dan Kurang Adab kepada Ulama
    Rasulullah menyebut mereka ahdatsu asnan (sangat muda). Mereka seringkali baru belajar, namun sangat berani memvonis dan menghujat ulama atau ustaz yang berpengalaman lewat konten media sosial, tanpa dasar ilmu yang memadai.
  3. Ibadah Tampak Kuat, tapi Tidak Menghujam ke Hati
    Salat dan puasa mereka mungkin tampak khusyuk dan rajin, namun Al-Qur’an yang dibaca tidak melewati tenggorokan (tidak menyentuh hati). Mereka keras dalam ritual, tetapi lunak dalam akhlak seperti kasih sayang dan menjaga persaudaraan.
  4. Sangat Eksklusif dan Anti-Perbedaan
    Mereka cenderung mengisolasi diri, membuat kelompok kajian eksklusif, melarang pengikutnya belajar dari guru lain, dan tidak toleran terhadap perbedaan pendapat (khilafiyah) yang sebenarnya dibolehkan dalam Islam.
  5. Gemar Mencari Kesalahan dan Mempermalukan Sesama Muslim (Tahdzir)
    Mereka menghabiskan energi untuk “membid’ahkan” dan “menyesatkan” saudara Muslimnya di depan umum, terutama di media sosial, alih-alih menasihati dengan sembunyi dan penuh kasih. Mereka lebih sering menyerang sesama Muslim daripada mengkritik musuh Islam yang nyata.
  6. Kasar terhadap Sesama Muslim, Lembut kepada Non-Muslim (dalam konteks tertentu)
    Pola ini terlihat saat mereka mudah mencela ustaz karena perbedaan furu’ (cabang), tetapi diam terhadap kemungkaran yang lebih besar atau bahkan bersikap baik pada non-Muslim yang jelas-jelas memusuhi Islam, dengan dalil “berbuat baik”.

Refleksi dan Penutup: Mari Kembali ke Jalan Persatuan

Sejarah telah mengajarkan bahwa perpecahan adalah kehancuran. Andalusia (Spanyol) Islam bertahan 800 tahun karena umat bersatu, dan akhirnya hilang karena terpecah. Barat maju karena mereka bersatu dalam Uni Eropa, sementara dunia Islam seringkali terfragmentasi.

Islam adalah agama yang mendatangkan ketenangan dan kasih sayang. Semakin dalam ilmu seseorang, seharusnya semakin membuatnya tawadhu’, mencintai saudaranya, dan ingin menyelamatkannya dari kesalahan dengan cara yang baik.

Pesan untuk Kita Semua:
Jika dalam proses belajar agama, kita justru menemukan diri menjadi mudah benci, menghakimi, dan merasa lebih suci dari saudara Muslim lain, waspadalah. Itu bukan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Tinggalkan kelompok yang mengajarkan kebencian atas nama agama. Carilah ilmu dari sumber yang mengedepankan kasih sayang, menghormati perbedaan yang dibenarkan, dan mengajak kepada persatuan.

Mari kita jadikan pelajaran sejarah ini sebagai cermin. Alih-alih menghabiskan waktu mencari kesalahan saudara sendiri, lebih baik kita satukan kekuatan untuk membela yang tertindas, menegakkan kebenaran, dan menghadapi musuh-musuh Islam yang sebenarnya.

“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali ‘Imran: 103)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Quote of the week

“People ask me what I do in the winter when there’s no baseball. I’ll tell you what I do. I stare out the window and wait for spring.”

~ Rogers Hornsby

Assalamia. 2025 Designed with WordPress