Perbincangan mengenai akurasi waktu sholat Subuh sudah lama muncul di tengah masyarakat. Sebagian pihak meyakini bahwa jadwal Subuh yang digunakan secara resmi di Indonesia dianggap lebih cepat dibandingkan fenomena fajar sebenarnya. Isu ini bukan sekadar teknis astronomi belaka, tetapi berkaitan langsung dengan keabsahan ibadah, khususnya shalat Subuh, puasa, dan berbagai amalan lain yang bergantung pada masuknya waktu fajar.
Apa yang Menjadi Sumber Kontroversi?
Kontroversi ini berawal dari perbedaan penentuan derajat matahari di bawah horizon ketika fajar dianggap telah terbit. Secara astronomis, fajar muncul karena cahaya Matahari mulai bersentuhan dengan atmosfer bumi meski posisi Matahari masih berada di bawah garis horizon.
Dua istilah penting yang harus dipahami:
1. Fajar Kadzib (False Dawn)
Cahaya yang muncul secara vertikal seperti pilar cahaya. Cahaya ini tidak menandai masuknya waktu Subuh.
2. Fajar Shadiq (True Dawn)
Cahaya yang melebar horizontal dari Timur ke Utara–Selatan. Inilah tanda sah masuknya waktu Subuh.
Perdebatan muncul karena sebagian pengamatan menunjukkan bahwa waktu Subuh di Indonesia ditetapkan pada derajat -20°, sementara sebagian ahli falak dan pengamat langit berpendapat bahwa fajar shadiq baru terlihat pada derajat -18° atau bahkan -16°. Perbedaan dua hingga empat derajat ini setara dengan selisih waktu 10–24 menit.
Itulah inti masalah: apakah jadwal kita saat ini sudah sesuai dengan fajar shadiq atau masih terlalu awal?
Posisi Resmi yang Ditetapkan Indonesia
Kementerian Agama RI menetapkan bahwa derajat fajar berada pada -20°, setelah melalui perhitungan falak dan beberapa rekomendasi tim astronomi pada masa lalu.
Akan tetapi, sebagian kelompok pengamat independen menilai bahwa:
- Pada derajat -20°, cahaya fajar belum tampak, bahkan di area minim polusi.
- Cahaya fajar mulai terlihat lebih konsisten pada kisaran -18° hingga -16°.
Selisih inilah yang memunculkan anggapan bahwa waktu Subuh di kalender resmi datang terlalu cepat.
Pengamatan Lapangan dan Polemik yang Muncul
Di beberapa kota besar, pengamatan fajar menjadi rumit akibat polusi cahaya. Cahaya buatan sering menutupi tampilan langit sehingga membuat fajar shadiq terlihat lebih lambat.
Pengamat yang melakukan rukyat di tempat gelap (gunung, tepi laut, gurun pasir, atau pulau terpencil) sering mendapatkan hasil berbeda dibandingkan pengamatan di kota. Inilah yang kemudian digunakan sebagian pihak untuk menuduh bahwa waktu Subuh terlalu dini.
Di sisi lain, beberapa astronom yang mendukung derajat -20° menilai bahwa:
- Cahaya fajar awal memang sangat samar.
- Butuh alat khusus dan kondisi ideal agar terlihat jelas.
- Mata manusia sering tertipu cahaya sekitar.
Karena itu, sebagian mereka tetap berpegang bahwa waktu Subuh resmi belum tentu salah.
Dampak Fikih Jika Waktu Subuh Ternyata Terlalu Cepat
Kontroversi ini membawa dampak besar:
1. Keabsahan Shalat Subuh
Jika seseorang shalat sebelum waktunya, maka shalat itu tidak sah. Ini yang membuat masyarakat sangat berhati-hati.
2. Puasa Ramadhan
Jika waktu imsak terlalu cepat, maka umat berpotensi berpuasa lebih lama dari seharusnya—meski ini tidak membatalkan puasa, tetapi bisa menimbulkan kesulitan.
3. Amalan Sunnah
Misalnya witir, qiyamul lail, atau tahajud. Waktu akhir qiyam adalah sebelum Subuh, sehingga jika Subuh terlalu cepat, waktu ibadah malam menjadi lebih pendek.
Solusi Praktis di Tengah Perbedaan Pendapat
Karena kontroversi belum berakhir, beberapa ulama memberikan fatwa praktis agar umat tetap aman:
1. Mengakhiri Ibadah Malam Lebih Cepat
Untuk yang rutin shalat malam, berhentilah 10–15 menit sebelum jadwal Subuh resmi, sebagai langkah kehati-hatian.
2. Shalat Subuh di Akhir Waktu
Alih-alih langsung adzan, sebagian masjid memilih menunggu 5–10 menit setelah jadwal sebelum iqamah, untuk memastikan fajar benar-benar masuk.
3. Melakukan Rukyat Lokal
Di daerah pedesaan atau minim polusi, masyarakat bisa melakukan pengamatan fajar secara rutin. Langkah ini membantu memperkuat data dan mencocokkan waktu dengan kondisi setempat.
4. Mengikuti Fatwa Lembaga Tepercaya
Jika seseorang tidak mampu melakukan pengamatan sendiri, mengikuti kalender resmi tetap sah selama dasar hisabnya jelas dan bertanggung jawab.
Apakah Perlu Perubahan Resmi?
Diskusi perubahan derajat Subuh sudah sering dilakukan oleh ahli falak, astronom, dan Kementerian Agama. Namun perubahan waktu sholat nasional bukan hal sederhana:
- Setiap daerah memiliki kondisi langit berbeda.
- Perubahan memerlukan kajian ilmiah nasional secara menyeluruh.
- Penyamaan standar harus mempertimbangkan masjid, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas.
Karena itu, meski diskusi ilmiah terus berkembang, keputusan resminya tetap harus mempertimbangkan banyak aspek, tidak hanya hasil pengamatan tertentu.
DALIL SYAR’I: KAPAN SEBENARNYA MASUK WAKTU SUBUH?
1. Dalil Al-Qur’an
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
(QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat ini menegaskan bahwa batas malam dengan Subuh adalah ketika cahaya putih fajar tampak secara jelas, bukan sebelum itu.
Ayat lain:
“Dirikanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelap malam dan (laksanakan) shalat Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh disaksikan (para malaikat).”
(QS. Al-Isra’ 78)
Makna “disaksikan malaikat” menunjukkan bahwa waktu Subuh masuk saat fajar shadiq benar-benar muncul, bukan masih samar.
2. Dalil Hadits Tentang Fajar Kadzib dan Fajar Shadiq
Nabi ﷺ membedakan dengan sangat jelas antara dua jenis fajar:
فجر كاذب لا يَنْهَى عن الطعام ، ولا يُحل الصلاة ، وفجر صادق منهي عن الطعام ، ومُحِلٌّ للصلاة
“Ada fajar kadzib yang tidak mengharamkan makan dan tidak membolehkan shalat. Dan ada fajar shadiq yang mengharamkan makan dan membolehkan shalat.”
(HR. Ibn Khuzaimah)
Hadits lain:
“Fajar itu ada dua: pertama seperti ekor serigala (menjulang ke atas), yang kedua menyebar ke kiri dan ke kanan.”
(HR. Al-Hakim)
➡ Fajar kadzib tegak vertikal.
➡ Fajar shadiq melebar horizontal di ufuk timur.
Dalil inilah yang menjadi dasar bahwa masuknya waktu Subuh adalah saat cahaya horizontal telah tampak jelas, bukan ketika hanya muncul pendar vertikal yang samar.
MENGAPA MUNCUL PERBEDAAN?
Masalah terbesar dalam perhitungan waktu Subuh adalah menentukan berapa derajat Matahari berada di bawah horizon saat fajar shadiq muncul.
Cahaya fajar tidak muncul tiba-tiba, tetapi bertahap. Karena itu, standar derajat yang digunakan di dunia berbeda-beda.
STANDAR INTERNASIONAL DERAJAT FAJAR
Berikut adalah standar yang digunakan di dunia:
| Negara / Lembaga | Derajat Fajar |
|---|---|
| Indonesia (Kemenag) | -20° |
| Muslim World League (MWL) | -18° |
| Umm al-Qura Makkah | -18° (di luar Ramadan) |
| Mesir | -19.5° |
| Tunisia & Aljazair | -18° |
| Amerika Utara (ISNA) | -15° |
| Eropa (Fajr Europe Council) | -12° hingga -15° (karena lintang tinggi) |
Terlihat jelas bahwa -20° bukan standar universal. Banyak negara memilih -18°, sementara daerah lintang tinggi memakai -15° hingga -12° karena karakteristik langit yang berbeda.
APA PERBEDAAN MAKNA DARI TIAP DERAJAT?
Derajat di sini menunjukkan seberapa jauh Matahari berada di bawah horizon saat fajar terdeteksi.
1. –20 derajat (Indonesia saat ini)
- Cahaya masih sangat samar.
- Banyak pengamat lapangan menilai belum tampak fajar shadiq.
- Waktu Subuh masuk lebih cepat 10–24 menit dibanding hasil rukyat.
2. –18 derajat (standar MWL dan banyak negara Arab)
- Dianggap titik awal astronomical twilight.
- Cahaya fajar mulai konsisten terlihat.
- Sebagian besar pengamat independen di Indonesia menemukan bahwa fajar shadiq lebih sesuai di sekitar derajat ini.
3. –15 derajat (digunakan ISNA dan sebagian astronom Barat)
- Cahaya fajar sudah lebih terang.
- Tak cocok untuk daerah tropis, namun akurat di negara subtropis.
4. –12 derajat (Eropa Utara dan kawasan ekstrem)
- Cahaya sudah cukup jelas karena kondisi atmosfer berbeda.
- Di Indonesia, derajat ini dianggap terlalu siang untuk Subuh.
APAKAH DERAJAT –20° TERLALU CEPAT UNTUK INDONESIA?
Banyak penelitian observasi di Indonesia oleh:
- pengamat langit independen
- komunitas astronomi amatir
- pesantren falak
- tim rukyat daerah
menunjukkan kecenderungan bahwa fajar shadiq baru tampak ketika Matahari berada di antara -18° hingga -16°, bukan -20°.
Contoh temuan lapangan:
- Di daerah pegunungan: fajar tampak mulai -17,8° hingga -16,5°.
- Di pesisir pantai: fajar tampak mulai -18,2° hingga -17°.
- Di area minim polusi cahaya: jarang sekali fajar tampak pada -20°.
Inilah yang menjadi dasar kuat bahwa waktu Subuh kita berpotensi lebih cepat dibanding kemunculan fajar shadiq.
DALIL KEHATI-HATIAN DALAM WAKTU SHALAT
Ulama memberi perhatian besar pada ketepatan waktu Subuh. Di antara dalilnya:
“Sesungguhnya shalat itu telah ditentukan waktunya bagi orang beriman.”
(QS. An-Nisa’: 103)
Hadits lain:
“Barangsiapa mengerjakan shalat sebelum waktunya, maka shalatnya tidak sah.”
(HR. Ad-Daraquthni)
Karena itulah sebagian masyarakat merasa perlu berhati-hati.
SOLUSI AMAN BAGI UMAT DI TENGAH PERDEBATAN
Berhubung kontroversi masih berlangsung dan hasil kajian nasional belum difinalisasi, ulama memberi beberapa solusi praktis:
1. Mengakhiri makan sahur sedikit lebih cepat
Untuk berjaga-jaga, sahur bisa dihentikan 5–10 menit sebelum jadwal resmi Subuh.
2. Shalat Subuh di akhir waktu masuk
Artinya, setelah adzan, menunggu 10–15 menit untuk memberi waktu fajar shadiq muncul secara yakin.
3. Masjid bisa memilih mengakhirkan iqamah
Beberapa masjid telah melakukannya dengan pertimbangan kehati-hatian.
4. Rukyat lokal tetap dianjurkan
Jika komunitas mampu melakukan pengamatan, data lapangan bisa membantu penyesuaian waktu setempat.
5. Mengikuti lembaga resmi tetap sah
Selama landasan hisabnya ilmiah dan dipertanggungjawabkan, umat yang mengikutinya tidak menanggung dosa—karena standar resmi ditetapkan oleh ulil amri.
Berapa Lama Mundur yang sangat Aman
Mundur 30 menit itu sangat aman, bahkan lebih aman daripada yang sebenarnya dibutuhkan, tetapi juga tidak salah secara syar’i selama masih berada dalam awal waktu Subuh yang valid.
Namun agar jelas dan tidak menimbulkan keraguan, berikut penjelasan pentingnya.
1. Apakah 30 Menit Lebih Aman?
Ya, 30 menit pasti membuat kita sudah masuk waktu Subuh dengan kepastian penuh, karena:
- Selisih derajat dari –20° (kalender Indonesia) ke –16° (fajar yang benar-benar kuat) adalah sekitar 4°
- 1° ≈ 4–6 menit
- 4° = 16–24 menit
Artinya:
➡ Mundur 30 menit melewati batas kehati-hatian maksimal.
➡ Dengan 30 menit, pasti sudah sangat aman dan pasti fajar shadiq sudah jelas.**
Jadi secara syar’i: sudah pasti sah.
2. Tapi apakah 30 menit itu terlalu lama?
Ada beberapa pertimbangan:
(1) Pertimbangan Fiqih
Secara hukum, tidak masalah.
Subuh tetap masih dalam waktunya, tidak ada larangan mengakhirkan sedikit shalat Subuh asalkan masih awal waktu.
Bahkan Nabi ﷺ pernah menyuruh Bilal mengakhirkan iqamah Subuh pada kondisi tertentu (HR. Bukhari).
(2) Pertimbangan Praktis
Untuk jamaah masjid:
- Jika semua tiba-tiba mengakhirkan 30 menit, masjid akan terlihat “terlambat”.
- Sebagian orang yang tidak paham akan kaget dan mengira telat shalat.
Untuk individu pribadi:
- Aman.
- Bahkan super aman.
(3) Pertimbangan astronomi
Data rukyat di Indonesia menunjukkan fajar shadiq hampir selalu terlihat antara:
- –18° sampai –16°
- Selisih 2°–4° dari hitungan resmi
- Itu setara 8–24 menit
Mundur 30 menit berarti melewati batas tertinggi (24 menit), sehingga benar-benar pasti.
3. Jadi apakah lebih baik mundur 30 menit?
Jika prioritas utama Anda adalah kepastian dan kehati-hatian:
👉 Ya, 30 menit itu sangat aman.**
Jika Anda ingin sesuai hasil rukyat Indonesia yang paling mendekati:
👉 12–20 menit sudah cukup.**
Jika Anda mengikuti masjid atau berjamaah:
👉 Ambil 10–15 menit untuk menjaga kekompakan jamaah.**
Rekomendasi Terbaik (Ringkas & Praktis)
- Untuk individu yang ingin super yakin:
👉 30 menit sangat aman. - Untuk individu yang ingin akurat mengikuti hasil observasi:
👉 15–20 menit sudah ideal. - Untuk masjid atau jamaah:
👉 10–15 menit supaya tidak menimbulkan kecanggungan publik.

Leave a Reply