Kajian Islam Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah

Dalam hidup, tidak semua hal berjalan sesuai rencana. Ada usaha yang gagal padahal sudah maksimal, ada doa yang belum terjawab meski air mata sudah jatuh berkali-kali, dan ada kenyataan pahit yang datang tanpa aba-aba. Di titik inilah iman diuji: apakah kita menerima takdir Allah dengan lapang, atau justru menyalahkan-Nya?

Menerima takdir bukan berarti lemah, apalagi pasrah tanpa ikhtiar. Justru di sanalah kematangan iman seseorang terlihat. Islam mengajarkan keseimbangan: berusaha sepenuh tenaga, lalu ridha sepenuh hati.


1. Memahami Takdir: Allah Maha Bijaksana, Bukan Maha Jahat

Kesalahan paling umum saat tertimpa musibah adalah menilai takdir hanya dari sudut pandang perasaan. Padahal, perasaan kita terbatas, sementara ilmu Allah tidak terbatas.

Allah berfirman:

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 216)

Ayat ini seperti tamparan halus untuk ego manusia. Kita sering merasa paling tahu apa yang terbaik untuk hidup kita, padahal Allah-lah yang menggenggam seluruh peta masa depan.


2. Menyalahkan Allah: Gejala Lemahnya Tauhid Rububiyah

Menyalahkan Allah bukan selalu dengan kata-kata kasar. Kadang bentuknya halus, seperti:

  • “Kenapa hidup gue gini terus?”
  • “Allah nggak adil sama aku.”
  • “Percuma berdoa, toh hasilnya sama aja.”

Ucapan seperti ini berbahaya karena menyentuh inti tauhid.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa ridha, baginya keridhaan Allah. Dan barang siapa murka, baginya kemurkaan Allah.”
(HR. Tirmidzi)

Artinya jelas: ujian bukan tanda Allah benci, justru bisa jadi bukti Allah sedang membentuk level iman kita.


3. Ridha Bukan Berarti Tidak Sedih

Ini penting diluruskan. Ridha tidak menghapus rasa sedih. Nabi Ya’qub menangis sampai matanya putih karena kehilangan Yusuf, tapi Allah tetap memujinya sebagai hamba yang sabar.

Allah berfirman:

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya aku hanya mengadukan kesusahan dan kesedihanku kepada Allah.”
(QS. Yusuf: 86)

Menangis boleh. Sedih boleh. Mengeluh ke manusia terus-terusan sambil menyalahkan Allah? Nah, itu yang bahaya.


4. Antara Ikhtiar dan Takdir: Jangan Dibenturkan

Sebagian orang berdalih:

“Ya udah takdir, mau gimana lagi.”

Ini bukan ridha, ini malas yang dibungkus dalil.

Rasulullah ﷺ bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَلَا تَعْجِزْ

“Bersungguh-sungguhlah dalam perkara yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.”
(HR. Muslim)

Ikhtiar adalah kewajiban. Ridha datang setelah ikhtiar, bukan sebelum. Kalau belum usaha tapi sudah ngomel soal takdir, itu bukan iman, itu drama.


5. Takdir Buruk di Mata Manusia, Bisa Jadi Baik di Akhirat

Sering kali Allah mencabut sesuatu yang kita cintai karena jika itu tetap ada, justru akan merusak iman kita.

Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami mewujudkannya.”
(QS. Al-Hadid: 22)

Lalu Allah lanjutkan:

لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ

“Agar kamu tidak bersedih atas apa yang luput darimu dan tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan kepadamu.”
(QS. Al-Hadid: 23)

Ini resep stabil mental versi langit.


6. Bahaya Su’uzan kepada Allah

Berprasangka buruk kepada Allah adalah penyakit hati yang sering tidak disadari.

Allah berfirman:

وَذَٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنتُم بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ

“Dan itulah prasangka burukmu kepada Tuhanmu yang telah membinasakan kamu.”
(QS. Fussilat: 23)

Orang yang selalu menyalahkan Allah akan:

  • Mudah putus asa
  • Sulit bersyukur
  • Hatinya penuh keluhan
  • Ibadah terasa berat

Sebaliknya, husnuzan kepada Allah membuat hati ringan, meski hidup berat.


7. Teladan Nabi ﷺ Saat Takdir Terasa Pahit

Saat Rasulullah ﷺ kehilangan anak-anaknya, difitnah, diusir, bahkan dilempari batu di Thaif, beliau tidak berkata:

“Kenapa Allah begini padaku?”

Beliau justru berdoa:

إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ غَضَبٌ عَلَيَّ فَلَا أُبَالِي

“Selama Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli.”

Ini level iman tertinggi: yang penting Allah ridha, urusan dunia nomor dua.


8. Cara Melatih Diri Menerima Takdir dengan Benar

Beberapa langkah praktis:

  1. Perbanyak ilmu tentang nama dan sifat Allah
  2. Biasakan doa istikharah dalam keputusan besar
  3. Latih syukur di kondisi sempit
  4. Kurangi membandingkan hidup dengan orang lain
  5. Ingat: dunia bukan tujuan akhir

Rasulullah ﷺ bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ

“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman. Semua urusannya baik baginya.”
(HR. Muslim)


Begitulah takdir Allah tidak pernah salah alamat, tidak pernah telat, dan tidak pernah kejam. Yang sering keliru adalah cara kita memahaminya.

Jika hari ini hidup terasa berat, mungkin Allah sedang:

  • Menghapus dosa
  • Mengangkat derajat
  • Mengubah arah hidup
  • Atau menyelamatkan kita dari keburukan yang tidak kita sadari

Ingat satu kalimat ini baik-baik:
Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya, tapi hamba sering menzalimi penilaian terhadap Allah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Assalamia. 2025 Designed with WordPress