Riba adalah salah satu dosa besar yang memiliki kedudukan sangat berat dalam Islam. Tidak ada banyak dosa yang dilabeli dengan ancaman perang dari Allah dan Rasul-Nya, namun riba termasuk di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa riba bukan sekadar transaksi yang keliru, tapi kerusakan moral dan sosial yang dampaknya menghancurkan umat. Ironisnya, di akhir zaman riba justru menjadi sesuatu yang dianggap lumrah, dilegalkan, direbranding, bahkan dipromosikan secara masif.
Fenomena ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi persoalan aqidah dan cara pandang hidup. Ketika sesuatu yang jelas-jelas haram dianggap sebagai hal biasa, itu pertanda besarnya fitnah dan jauhnya manusia dari petunjuk.
1. Riba dalam Syariat: Dosa Berat dengan Ancaman Perang
Allah berfirman:
“Jika kamu tidak meninggalkan riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
(QS. Al-Baqarah: 278–279)
Tidak ada ancaman sekeras ini dalam dosa-dosa besar lain. Zina, mencuri, minum khamr—semuanya dilarang keras, tetapi tidak sampai diumumkan perang oleh Allah. Artinya, riba bukan hanya maksiat individu, tetapi kerusakan struktural yang menghancurkan keberkahan masyarakat.
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, lebih berat dosanya daripada tiga puluh enam kali perzinaan.”
(HR. Ahmad)
Lebih jauh lagi, pelaku riba, pencatat, dan saksinya semuanya dilaknat. Ini adalah peringatan agar umat Islam menjauhi riba dari segala sisi, baik sebagai pelaku utama maupun pendukungnya.
2. Mengapa Riba Sangat Berbahaya?
Hakikat riba adalah keuntungan tanpa risiko atas beban pihak lain. Ini berbeda dengan jual beli yang berbasis pertukaran barang dan usaha. Dalam riba, pemilik modal tinggal menunggu keuntungan, sedangkan peminjam menanggung beban tanpa pilihan.
Dampaknya luas:
- memperkaya yang kaya, memiskinkan yang miskin,
- menciptakan jurang ekonomi,
- memicu perbudakan finansial,
- menghilangkan keberkahan dari harta,
- memicu gaya hidup konsumtif berbasis utang.
Riba menghancurkan tatanan sosial secara perlahan. Pada akhirnya, yang tertinggal adalah masyarakat yang hidup dengan kecemasan: takut jatuh tempo, takut denda, takut gagal bayar. Sistem riba tidak pernah memberikan ketenangan; ia hanya menciptakan lingkaran masalah baru.
3. Normalisasi Riba di Akhir Zaman
Rasulullah ﷺ telah memberi isyarat bahwa menjelang akhir zaman, riba akan merajalela.
“Akan datang suatu masa ketika semua orang akan memakan riba. Siapa yang tidak memakannya, ia tetap terkena debunya.”
(HR. Abu Dawud)
Realitas ini hari ini sangat terasa. Sistem ekonomi global berdiri di atas struktur bunga. Pemerintah berutang, perusahaan berutang, masyarakat pun bergantung pada pinjaman. Bahkan seseorang yang tidak ingin terlibat riba tetap terkena imbasnya melalui harga, sistem, atau layanan publik.
Lebih berbahaya lagi, riba tidak tampil dengan wajah aslinya. Ia kini hadir dalam bentuk aplikasi paylater, limit kredit, KPR, pinjaman pendidikan, pinjol, deposito berbunga, hingga denda yang dikemas sebagai “biaya administrasi”. Semua ini tampak rapi, legal, bahkan dipromosikan.
Riba tidak lagi terlihat seperti lintah darat yang kasar; ia datang dengan jas rapi, ruang kantor bersih, dan aplikasi modern.
4. Rebranding Riba: Ketika yang Haram Diberi Nama Baru
Normalisasi riba terjadi melalui beberapa cara:
a. Mengganti Nama
Riba diganti dengan istilah:
- bunga layanan,
- service fee,
- margin,
- biaya penyesuaian waktu,
- pengelolaan risiko.
Ini bukan hal baru. Allah sudah berfirman bahwa orang kafir dulu pun mengatakan “jual beli sama dengan riba” (QS. Al-Baqarah: 275). Penggantian nama hanyalah cara untuk meredam rasa bersalah, bukan mengubah hakikatnya.
b. Syariah Kulit Luar
Sebagian produk yang disebut syariah sebenarnya masih berbau riba:
- akad tidak jelas,
- margin dipatok menyerupai bunga,
- denda tetap diberlakukan,
- dana diputar di instrumen non-syariah.
Label syariah menenangkan hati, tapi jika akadnya tidak benar, hukumnya tetap haram.
c. Narasi “Semua orang butuh riba”
Kalimat seperti:
- “Zaman sekarang mana bisa hidup tanpa kredit.”
- “Rumah harus KPR.”
- “Modal usaha ya pinjam.”
Ini membuat masyarakat menganggap riba sebagai kebutuhan dasar, bukan dosa besar.
d. Tekanan gaya hidup
Cicilan 0%, promo instan, paylater, membuat orang terbiasa membeli dulu, memikirkan belakangan. Gaya hidup ini menjebak banyak orang dalam utang tanpa mereka sadari.
5. Kenapa Riba Terlihat Normal?
Ada beberapa penyebab:
1. Sistem global berbasis bunga
Struktur ekonomi modern hanya punya satu mesin: utang berbunga. Maka wajar jika riba sudah merata di semua level.
2. Kurangnya literasi keuangan syariah
Banyak yang tidak memahami akad-akad syariah. Akibatnya, orang tidak tahu perbedaan antara transaksi halal dan riba.
3. Gaya hidup cepat
Orang ingin cepat punya rumah, kendaraan, bisnis. Riba menawarkan jalan pintas yang mudah, meski akhirnya menyakitkan.
4. Tekanan ekonomi
Kondisi finansial memaksa sebagian orang mengambil utang. Ketika sudah terbiasa, sulit lepas.
6. Mungkinkah Hidup Tanpa Riba?
Jawabannya: mungkin, meski tidak selalu mudah. Beberapa langkah yang dapat dilakukan:
- niat kuat meninggalkan riba,
- hidup sederhana agar tidak terjebak cicilan,
- memilih layanan keuangan syariah yang benar-benar sesuai syariat,
- membangun dana darurat,
- menunda keinginan yang bukan kebutuhan,
- membiasakan transaksi tunai.
Islam tidak membebani di luar kemampuan. Namun tetap wajib bagi setiap muslim berusaha menjauh dari riba sejauh yang ia mampu.
Begitulah fenomena normalisasi riba di akhir zaman adalah tanda besarnya fitnah yang menimpa umat. Riba direbranding, dikemas modern, dan dianggap lazim. Padahal Allah telah mengumumkan perang terhadap pelakunya.
Kewajiban kita adalah waspada, belajar, dan berusaha semampunya menjauhi riba. Sebab harta tanpa riba bukan hanya lebih berkah, tapi juga lebih membawa ketenangan. Dan ketenangan adalah bagian dari rezeki yang tidak bisa dibeli dengan cicilan apa pun.

Leave a Reply